Kamis, 21 Mei 2015

BAB IV



HUKUM PERIKATAN


   A.    Definisi Hukum Perikatan
Perikatan dalam bahasa Belanda, disebut “ver bintesis”. Istilah perikatan ini lebih umum dipakai dalam literatur hukum di Indonesia. Perikatan dalam hal ini berarti, hal yang mengikat orang yang satu terhadap orang yang lain. Hal yang mengikat itu menurut kenyataannya dapat berupa perbuatan, misalnya jual beli barang. Dapat berupa peristiwa, misalnya lahirnya seorang bayi, atau meinggalnya seseorang. Dapat berupa keadaan, misalnya letak pekarangan yang berdekatan, letak rumah yang bergandengan, atau letak rumah yang bersusun. Karena hal yang mengikat itu selalu ada dalam kehidupann bermasyarakat, maka oleh pembentuk undang-undang atau oleh masyarakat sendiri diakui dan diberi “akibat hukum”.

   B.     Dasar Hukum Perikatan
Dasar hukum perikatan berdasarkan KUHP perdata tedapat tiga sumber adalah sebagai berikut :
1.      Perikatan yang timbul dari persetujuan (perjanjian).
2.      Perikatan yang timbul dari undang-undang
Perikatan yang berasal dari undang-undang dibagi lagi menjadi undang-undang saja dan undang-undang dan perbuatan manusia. Hal ini tergambar dalam Pasal 1352 KUH Perdata : “Perikatan yang dilahirkan dari undang-undang, timbul dari undang-undang saja (uit wet ten gevolge van’s mensen toedoen).
a.       Perikatan terjadi karena undang-undang semata
Perikatan yang timbul dari undang-undang saja adalah perikatan yang letaknya diluar Buku III, yaitu yang ada dalam pasal 104 KUH Perdata mengenai kewajiban alimentasi antara orang tua dan anak dan yang lain dalam pasal 625 KUH Perdata mengenai hukum tetangga yaitu hak dan kewajiban pemilik-pemilik pekarangan yang bedampingan. Diluar dari sumber-sumber perikatan yang telah dijelaskan diatas terdapat pula sumber-sumber lain yaitu: kesusilaan dan kepatutan (moral dan fatsoen) menimbulkan perikatan wajar (obligatio naturalis), legaat (hibah wasiat), penawaran, putusan hakim. Berdasarkan keadilan (billijkheid) maka hal-hal termasuk dalam sumber-sumber perikatan.
b.      Perikatan terjadi karena undang-undang akibat perbuatan mannusia.
3.      Perikatan terjadi bukan perjanjian, tetapi terjadi karena perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perwakilan sukarela (zaakwarneming).

   C.     Azas-Azas dalam Hukum Perikatan
Azas-azas dalam hukum perikatan diatur dalam Buku III KUH Perdata, yakni menganut azas kebebasan berkontrak dan azas konsensualisme.
1.      Azas Kebebasan Berkontrak
Azas Kebebasan Berkontrak terlihat di dalam Pasal 1338 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa segala sesuatu perjanjian yang dibuat adalah sah bagi para pihak yang membuatnya dan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yanng membuatnya.
2.      Azas Konsensualisme
Azas konsensualisme artinya bahwa perjanjian itu lahir pada saat tercapainya kata sepakat antara para pihak mengenai hal-hal yang pokok dan tidak memerlukan sesuatu formalitas. Dengan demikian, azas konsensualisme lazim disimpulkan dalam Pasal 1320 KUH Perdata.

   D.    Wanprestasi (Ingkar Janji)
Wanprestasi timbul apabila salah satu pihak (debitur) tidak melakukan apa yang diperjanjikan. Adapun bentuk dari wanprestasi bisa berupa empat kategori, yakni :
1.      Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
2.      Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana yang dijanjikan
3.      Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat
4.      Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

   E.     Hapusnya Perikatan
Perikatan itu bisa hapus jika memenuhi kriteria-kriteria sesuai dengan Pasal 1381 KUH Perdata. Ada 7 cara penghapusan suatu perikatan adalah sebagai berikut:
a.       Pembaharuan utang (inovatie)
b.      Perjumpaan hutang (kompensasi)
c.       Pembebasan hutang
d.      Musnahnya barang yang terutang
e.       Kebatalan dan pembatalan perikatan-perikatan
f.       Syarat yang membatalkan
g.      Kadaluwarsa

0 komentar:

Posting Komentar

By :
Free Blog Templates